Setelah artikel Mengenal Lebih Jelas Tentang Penyakit HIV AIDS maka ada baiknya juga mengetahui Cara Dan Upaya Pencegahan Penyakit HIV AIDS, Karena seperti kita ketahui bersama bahwa Penyakit HIV AIDS ini belum ada obatnya jadi hanya Upaya Pencegahan Penyakit HIV AIDS ini saja yang saat ini dapat dilakukan agar dapat terhindar dari Penyakit mematikan ini. Pada artikel ini juga dibahas bagaimana Cara Dan Upaya Pencegahan Penyakit HIV AIDS Pada orang yang telah terinfeksi agar tidak menular ke orang lain, Di karenakan Penyakit HIV AIDS termasuk dalam kategori penyakit unik dan aneh serta mematikan.
I. Cara Dan Upaya Pencegahan Penyakit HIV AIDS
Program Pencegahan Penyakit HIV AIDS hanya dapat efektif bila dilakukan dengan komitmen masyarakat dan komitmen politik yang tinggi untuk mencegah dan atau mengurangi perilaku risiko tinggi terhadap penularan HIV. Upaya pencegahan meliputi :
1) Pemberian penyuluhan kesehatan di sekolah dan di masyarakat harus menekankan bahwa mempunyai pasangan seks yang berganti-ganti serta penggunaan obat suntik bergantian dapat meningkatkan risiko terkena infeksi HIV. Pelajar juga harus dibekali pengetahuan bagaimana untuk menghindari atau mengurangi kebiasaan yang mendatangkan risiko terkena infeksi HIV. Program untuk anak sekolah harus dikembangkan sedemikian rupa sesuai dengan perkembangan mental serta kebutuhan mereka, begitu juga bagi mereka yang tidak sekolah. Kebutuhan kelompok minoritas, orang-orang dengan bahasa yang berbeda dan bagi penderita tuna netra serta tuna rungu juga harus dipikirkan.
2) Satu-satunya jalan agar tidak terinfeksi adalah dengan tidak melakukan hubungan seks atau hanya berhubungan seks dengan satu orang yang diketahui tidak mengidap infeksi. Pada situasi lain, kondom lateks harus digunakan dengan benar setiap kali seseorang melakukan hubungan seks secara vaginal, anal atau oral. Kondom lateks dengan pelumas berbahan dasar air dapat menurunkan risiko penularan melalui hubungan seks.
3) Memperbanyak fasilitas pengobatan bagi pecandu obat terlarang akan mengurangi penularan HIV. Begitu pula Program “Harm reduction”yang menganjurkan para pengguna jarum suntik untuk menggunakan metode dekontaminasi dan menghentikan penggunaan jarum bersama telah terbukti efektif.
4) Menyediakan fasilitas Konseling HIV dimana identitas penderita dirahasiakan atau dilakukan secara anonimus serta menyediakan tempat-tempat untuk melakukan pemeriksaan darah. Faslitas tersebut saat ini telah tersedia di seluruh negara bagian di AS. Konseling, tes HIV secara sukarela dan rujukan medis dianjurkan dilakukan secara rutin pada klinik keluarga berencana dan klinik bersalin, klinik bagi kaum homo dan terhadap komunitas dimana seroprevalens HIV tinggi. Orang yang aktivitas seksualnya tinggi disarankan untuk mencari pengobatan yang tepat bila menderita Penyakit Menular Seksual (PMS).
5) Setiap wanita hamil sebaiknya sejak awal kehamilan disarankan untuk dilakukan tes HIV sebagai kegiatan rutin dari standar perawatan kehamilan. Ibu dengan HIV positif harus dievaluasi untuk memperkirakan kebutuhan mereka terhadap terapi zidovudine (ZDV) untuk mencegah penularan HIV melalui uterus dan perinatal.
6) Berbagai peraturan dan kebijakan telah dibuat oleh USFDA, untuk mencegah kontaminasi HIV pada plasma dan darah. Semua darah donor harus diuji antibodi HIV nya. Hanya darah dengan hasil tes negatif yang digunakan. Orang yang mempunyai kebiasaan risiko tinggi terkena HIV sebaiknya tidak mendonorkan plasma, darah, organ-organ untuk transplantasi, sel atau jaringan (termasuk cairan semen untuk inseminasi buatan). Institusi (termasuk bank sperma, bank susu atau bank tulang) yang mengumpulkan plasma, darah atau organ harus menginformasikan tentang peraturan dan kebijakan ini kepada donor potensial dan tes HIV harus dilakukan terhadap semua donor. Apabila mungkin, donasi sperma, susu atau tulang harus dibekukan dan disimpan selama 3 – 6 bulan. Donor yang tetap negatif setelah masa itu dapat di asumsikan tidak terinfeksi pada waktu menjadi donor.
7) Jika hendak melakukan transfusi Dokter harus melihat kondisi pasien dengan teliti apakah ada indikasi medis untuk transfusi. Transfusi otologus sangat dianjurkan.
8) Hanya produk faktor pembekuan darah yang sudah di seleksi dan yang telah diperlakukan dengan semestinya untuk menonaktifkan HIV yang bisa digunakan.
9) Sikap hati-hati harus dilakukan pada waktu penanganan, pemakaian dan pembuangan jarum suntik atau semua jenis alat-alat yang berujung tajam lainnya agar tidak tertusuk. Petugas kesehatan harus menggunakan sarung tangan lateks, pelindung mata dan alat pelindung lainnya untuk menghindari kontak dengan darah atau cairan yang mengandung darah. Setiap tetes darah pasien yang mengenai tubuh petugas kesehatan harus dicuci dengan air dan sabun sesegera mungkin. Kehati-hatian ini harus di lakukan pada semua pasien dan semua prosedur laboratorium (tindakan kewaspadaan universal).
10) WHO merekomendasikan pemberian imunisasi bagi anak-anak dengan infeksi HIV tanpa gejala dengan vaksin-vaksin EPI (EXPANDED PROGRAMME ON IMMUNIZATION); anak-anak yang menunjukkan gejala sebaiknya tidak mendapat vaksin BCG. Di AS, BCG dan vaksin oral polio tidak direkomendasikan untuk diberikan kepada anak-anak yang terinfeksi HIV tidak perduli terhadap ada tidaknya gejala, sedangkan vaksin MMR (measles-mumps-rubella) dapat diberikan kepada anak dengan infeksi HIV.
II. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitarnya :
1). Laporan kepada instansi kesehatan setempat; mengirimkan laporan resmi kasus AIDS adalah wajib di semua jajaran kesehatan di AS dan hampir di semua negara di dunia. Sebagian besar negara bagian di AS menerapkan sistem pelaporan infeksi HIV ini. Laporan resmi mungkin dibutuhkan di berbagai negara atau provinsi, Kelas 2B (lihat tentang pelaporan penyakit menular)
2). Isolasi; mengisolasi orang dengan HIV positif secara terpisah tidak perlu, tidak efektif dan tidak dibenarkan. “Universal Precaution”(kewaspadaan universal) (q.v) diterapkan untuk semua penderita yang dirawat. Tindakan kewaspadaan tambahan tertentu perlu dilakukan pada infeksi spesifik yang terjadi pada penderita AIDS.
3). Disinfeksi serentak; dilakukan terhadap alat alat yang terkontaminasi dengan darah atau cairan tubuh dengan menggunakan larutan pemutih (chlorine) atau germisida tuberkulosidal.
4). Karantina; tidak diperlukan. Penderita HIV/AIDS dan pasangan seks mereka sebaiknya tidak mendonasikan darah, plasma, organ untuk transplantasi, jaringan, sel, semen untuk inseminasi buatan atau susu untuk bank susu manusia.
5). Imunisasi dari orang orang yang kontak; tidak ada.
6). Investigasi terhadap kontak dan sumber infeksi; Di AS pasangan seks dari para penderita HIV/AIDS atau pasangan pengguna jarum suntik bersama, bila memungkinkan, di laporkan sendiri oleh si penderita. Rujukan oleh petugas di benarkan bila pasien, sesudah dilakukan konseling, tetap menolak untuk memberitahukan pasangan seks mereka, dan untuk itu petugas harus betul-betul yakin bahwa tidak akan terjadi sesuatu yang membahayakan indeks kasus bila pasangannya diberitahu. Tindakan yang sangat hati-hati harus dilakukan untuk melindungi kerahasiaan penderita.
7). Pengobatan spesifik : di sarankan untuk melakukan diagnosa dini dan melakukan rujukan untuk evaluasi medis. Rujuklah sumber informasi mutakhir tentang obat yang tepat, jadwal dan dosisnya. Pedoman pengobatan HIV/AIDS yang selalu diperbaharui setiap saat tersedia pada “CDC National Clearing house” (1-800-458-5231) dan dapat diakses melalui Clearing house World Wide Website (http:www.cdcnpin.org).
a. Sebelum ditemukan pengobatan antiretrovirus yang relatif efektif, dan tersedia secara rutin di AS sekitar tahun 90-an, pengobatan yang ada pada waktu itu hanya ditujukan kepada penyakit “opportunistic” yang diakibatkan oleh infeksi HIV. Penggunaan TMP-SMX oral untuk tujuan profilaktik, dengan pentamidin aerosol kurang efektif, obat ini di rekomendasikan untuk mencegah penumonia P. carinii. Semua orang yang terinfeksi HIV terhadap mereka harus dilakukan tes tuberkulin dan dievaluasi apakah mereka penderita TBC aktif. Jika diketahui menderita TB aktif, pasien harus diberi terapi anti tuberkulosa. Jika bukan TB aktif, pasien dengan tes tuberkulin positif atau yang anergik tetapi baru saja terpajan dengan TB harus diberikan terapi dengan isoniazid untuk 12 bulan.
b. Keputusan untuk memulai atau merubah terapi antiretrovirus harus di pandu dengan memonitor hasil pemeriksaan parameter laboratorium baik Plasma HIV RNA (viral load) maupun jumlah sel CD4+T dan dengan melihat kondisi klinis dari pasien. Hasil dari dua parameter ini memberikan informasi penting tentang status virologi dan imunologi dari pasien dan risiko dari perkembangan penyakit menjadi AIDS. Sekali keputusan untuk memberi terapi antiretrovirus diambil, pengobatan harus di lakukan dengan agresif dengan tujuan menekan virus semaksimal mungkin. Pada umumnya, harus diawali dengan penggunaan inhibitor protease dan dua inhibitor “non nucleoside reverse transcriptase”. Regimen lain mungkin digunakan tetapi dianggap kurang optimal. Pertimbangan spesifik di berikan kepada orang dewasa dan wanita hamil, dan bagi pasien pasien ini sebaiknya digunakan regimen pengobatan spesifik.
c. Hingga pertengahan tahun 1999, satu-satunya obat yang dapat mengurangi risiko penularan HIV perinatal hanya AZT dan di berikan sesuai dengan regimen berikut: diberikan secara oral sebelum kelahiran, mulai 14 minggu usia kehamilan dan diteruskan sepanjang kehamilan, diberikan intravena selama periode intra-partum; diberikan oral bagi bayi baru lahir hingga berusia 6 minggu. Regimen “chemoprophylactic” ini menurunkan risiko penularan HIV hingga 66 %. Terapi AZT yang lebih singkat mengurangi risiko penularan hingga 40%. Dari studi di Uganda, dilaporkan bahwa pada bulan Juli 1999 dosis tunggal nevirapine yang diberikan kepada ibu yang terinfeksi HIV diikuti dengan dosis tunggal kepada bayi hingga berusia 3 hari, memberi hasil yang lebih baik dibandingkan dengan kedua terapi diatas. Hanya 13.1 % dari bayi yang mendapat terapi nevirapine yang terinfeksi HIV, dibandingkan dengan 25.1 % dari kelompok yang mendapat terapi AZT. Harga Nevirapine kurang dari 4 dollar satu dosisnya, sehingga prospek untuk melindungi penularan ibu ke anak di negara berkembang lebih memungkinkan di era milinium ini.
Namun, kurang tersedianya fasilitas tes HIV dan jasa konsultasi bagi wanita hamil di negara-negara berkembang yang termiskin di Afrika tetap merupakan sebuah tantangan yang berat. Disamping itu kurang tersedianya pengobatan anti HIV bagi orang dewasa membuat angka anak-anak yang menjadi yatim-piatu bertambah di negara-negara ini.
d. Penanganan tenaga kesehatan yang sehari-harinya terpajan darah dan cairan tubuh yang mungkin mengandung virus HIV sangat kompleks. Sifat pajanan dan faktor-faktor seperti kemungkinan hamil dan strain HIV yang resisten terhadap obat harus dipertimbangkan sebelum Profilaksis HIV pasca pemajanan (Postexposure prophylaxis = PEP) di berikan. Akhir tahun 1999, pemberian PEP yang dianjurkan termasuk pemberian regimen dasar selama 4 minggu yang terdiri dari 2 jenis obat (zidovudine dan lamivudine) untuk semua jenis pemajanan HIV, termasuk juga regimen yang telah dikembangkan, dengan tambahan protease inhibitor (indinavir atau nelfinavir) yang ditujukan bagi orang yang terpajan kuman HIV yang keberadaannya membuat mereka mempunyai risiko tinggi tertular atau utnuk mereka yang diketahui atau dicurigai resisten terhadap satu atau lebih obat antiretroviral yang direkomendasikan untuk PEP. Institusi pelayanan kesehatan seharusnya mempunyai pedoman yang mempermudah dan memberikan akses yang tepat untuk perawatan pasca pemajanan bagi petugas kesehatan dan pengembangan sistem pencatatan dan pelaporan peristiwa pemajanan.
III. Penanggulangan wabah - HIV saat ini sudah pandemik, dengan jumlah penderita yang sangat besar di laporkan di Amerika, Eropa, Afrika dan Asia Tenggara. Lihat 9A, diatas untuk rekomendasi.
IV. Implikasi bencana - Petugas emergensi harus mengikuti prosedur kewaspadaan universal, jika sarung tangan lateks tidak tersedia dan permukaan kulit kontak dengan darah, harus dicuci sesegera mungkin. Masker, kacamata pelindung dan pakaian pelindung di sarankan untuk dipakai ketika melakukan tindakan yang bisa menyebabkan semburan atau percikan darah atau cairan tubuh. Transfusi untuk keadaan darurat sebaiknya menggunakan darah donor yang telah diskrining terhadap antibodi HIV, jika uji saring tidak mungkin dilakukan maka donasi sebaiknya di terima hanya dari donor yang tidak mempunyai perilaku yang memungkinkan terinfeksi oleh HIV, dan lebih disukai donor yang sebelumnya terbukti negatif untuk antibodi HIV.
V. Tindakan Internasional - Program pencegahan dan pengobatan global dikoordinasi oleh WHO yang dimulai pada tahun 1987. Sejak tahun 1995, program AIDS global dikoordinasikan oleh UNAIDS. Sebenarnya semua negara di seluruh dunia telah mengembangkan program perawatan dan pencegahan AIDS. Beberapa negara telah melembagakan keharusan pemeriksaan AIDS atau HIV untuk masuknya pendatang asing (terutama bagi mereka yang meminta visa tinggal atau visa yang lebih panjang, seperti visa belajar atau visa kerja) WHO dan UNAIDS belum mendukung tindakan ini.
Sumber: Manual Pemberantasan Penyakit Menular (MPPM) Edisi 17 Tahun 2000
2) Satu-satunya jalan agar tidak terinfeksi adalah dengan tidak melakukan hubungan seks atau hanya berhubungan seks dengan satu orang yang diketahui tidak mengidap infeksi. Pada situasi lain, kondom lateks harus digunakan dengan benar setiap kali seseorang melakukan hubungan seks secara vaginal, anal atau oral. Kondom lateks dengan pelumas berbahan dasar air dapat menurunkan risiko penularan melalui hubungan seks.
3) Memperbanyak fasilitas pengobatan bagi pecandu obat terlarang akan mengurangi penularan HIV. Begitu pula Program “Harm reduction”yang menganjurkan para pengguna jarum suntik untuk menggunakan metode dekontaminasi dan menghentikan penggunaan jarum bersama telah terbukti efektif.
4) Menyediakan fasilitas Konseling HIV dimana identitas penderita dirahasiakan atau dilakukan secara anonimus serta menyediakan tempat-tempat untuk melakukan pemeriksaan darah. Faslitas tersebut saat ini telah tersedia di seluruh negara bagian di AS. Konseling, tes HIV secara sukarela dan rujukan medis dianjurkan dilakukan secara rutin pada klinik keluarga berencana dan klinik bersalin, klinik bagi kaum homo dan terhadap komunitas dimana seroprevalens HIV tinggi. Orang yang aktivitas seksualnya tinggi disarankan untuk mencari pengobatan yang tepat bila menderita Penyakit Menular Seksual (PMS).
5) Setiap wanita hamil sebaiknya sejak awal kehamilan disarankan untuk dilakukan tes HIV sebagai kegiatan rutin dari standar perawatan kehamilan. Ibu dengan HIV positif harus dievaluasi untuk memperkirakan kebutuhan mereka terhadap terapi zidovudine (ZDV) untuk mencegah penularan HIV melalui uterus dan perinatal.
6) Berbagai peraturan dan kebijakan telah dibuat oleh USFDA, untuk mencegah kontaminasi HIV pada plasma dan darah. Semua darah donor harus diuji antibodi HIV nya. Hanya darah dengan hasil tes negatif yang digunakan. Orang yang mempunyai kebiasaan risiko tinggi terkena HIV sebaiknya tidak mendonorkan plasma, darah, organ-organ untuk transplantasi, sel atau jaringan (termasuk cairan semen untuk inseminasi buatan). Institusi (termasuk bank sperma, bank susu atau bank tulang) yang mengumpulkan plasma, darah atau organ harus menginformasikan tentang peraturan dan kebijakan ini kepada donor potensial dan tes HIV harus dilakukan terhadap semua donor. Apabila mungkin, donasi sperma, susu atau tulang harus dibekukan dan disimpan selama 3 – 6 bulan. Donor yang tetap negatif setelah masa itu dapat di asumsikan tidak terinfeksi pada waktu menjadi donor.
7) Jika hendak melakukan transfusi Dokter harus melihat kondisi pasien dengan teliti apakah ada indikasi medis untuk transfusi. Transfusi otologus sangat dianjurkan.
8) Hanya produk faktor pembekuan darah yang sudah di seleksi dan yang telah diperlakukan dengan semestinya untuk menonaktifkan HIV yang bisa digunakan.
9) Sikap hati-hati harus dilakukan pada waktu penanganan, pemakaian dan pembuangan jarum suntik atau semua jenis alat-alat yang berujung tajam lainnya agar tidak tertusuk. Petugas kesehatan harus menggunakan sarung tangan lateks, pelindung mata dan alat pelindung lainnya untuk menghindari kontak dengan darah atau cairan yang mengandung darah. Setiap tetes darah pasien yang mengenai tubuh petugas kesehatan harus dicuci dengan air dan sabun sesegera mungkin. Kehati-hatian ini harus di lakukan pada semua pasien dan semua prosedur laboratorium (tindakan kewaspadaan universal).
10) WHO merekomendasikan pemberian imunisasi bagi anak-anak dengan infeksi HIV tanpa gejala dengan vaksin-vaksin EPI (EXPANDED PROGRAMME ON IMMUNIZATION); anak-anak yang menunjukkan gejala sebaiknya tidak mendapat vaksin BCG. Di AS, BCG dan vaksin oral polio tidak direkomendasikan untuk diberikan kepada anak-anak yang terinfeksi HIV tidak perduli terhadap ada tidaknya gejala, sedangkan vaksin MMR (measles-mumps-rubella) dapat diberikan kepada anak dengan infeksi HIV.
II. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitarnya :
1). Laporan kepada instansi kesehatan setempat; mengirimkan laporan resmi kasus AIDS adalah wajib di semua jajaran kesehatan di AS dan hampir di semua negara di dunia. Sebagian besar negara bagian di AS menerapkan sistem pelaporan infeksi HIV ini. Laporan resmi mungkin dibutuhkan di berbagai negara atau provinsi, Kelas 2B (lihat tentang pelaporan penyakit menular)
2). Isolasi; mengisolasi orang dengan HIV positif secara terpisah tidak perlu, tidak efektif dan tidak dibenarkan. “Universal Precaution”(kewaspadaan universal) (q.v) diterapkan untuk semua penderita yang dirawat. Tindakan kewaspadaan tambahan tertentu perlu dilakukan pada infeksi spesifik yang terjadi pada penderita AIDS.
3). Disinfeksi serentak; dilakukan terhadap alat alat yang terkontaminasi dengan darah atau cairan tubuh dengan menggunakan larutan pemutih (chlorine) atau germisida tuberkulosidal.
4). Karantina; tidak diperlukan. Penderita HIV/AIDS dan pasangan seks mereka sebaiknya tidak mendonasikan darah, plasma, organ untuk transplantasi, jaringan, sel, semen untuk inseminasi buatan atau susu untuk bank susu manusia.
5). Imunisasi dari orang orang yang kontak; tidak ada.
6). Investigasi terhadap kontak dan sumber infeksi; Di AS pasangan seks dari para penderita HIV/AIDS atau pasangan pengguna jarum suntik bersama, bila memungkinkan, di laporkan sendiri oleh si penderita. Rujukan oleh petugas di benarkan bila pasien, sesudah dilakukan konseling, tetap menolak untuk memberitahukan pasangan seks mereka, dan untuk itu petugas harus betul-betul yakin bahwa tidak akan terjadi sesuatu yang membahayakan indeks kasus bila pasangannya diberitahu. Tindakan yang sangat hati-hati harus dilakukan untuk melindungi kerahasiaan penderita.
7). Pengobatan spesifik : di sarankan untuk melakukan diagnosa dini dan melakukan rujukan untuk evaluasi medis. Rujuklah sumber informasi mutakhir tentang obat yang tepat, jadwal dan dosisnya. Pedoman pengobatan HIV/AIDS yang selalu diperbaharui setiap saat tersedia pada “CDC National Clearing house” (1-800-458-5231) dan dapat diakses melalui Clearing house World Wide Website (http:www.cdcnpin.org).
a. Sebelum ditemukan pengobatan antiretrovirus yang relatif efektif, dan tersedia secara rutin di AS sekitar tahun 90-an, pengobatan yang ada pada waktu itu hanya ditujukan kepada penyakit “opportunistic” yang diakibatkan oleh infeksi HIV. Penggunaan TMP-SMX oral untuk tujuan profilaktik, dengan pentamidin aerosol kurang efektif, obat ini di rekomendasikan untuk mencegah penumonia P. carinii. Semua orang yang terinfeksi HIV terhadap mereka harus dilakukan tes tuberkulin dan dievaluasi apakah mereka penderita TBC aktif. Jika diketahui menderita TB aktif, pasien harus diberi terapi anti tuberkulosa. Jika bukan TB aktif, pasien dengan tes tuberkulin positif atau yang anergik tetapi baru saja terpajan dengan TB harus diberikan terapi dengan isoniazid untuk 12 bulan.
b. Keputusan untuk memulai atau merubah terapi antiretrovirus harus di pandu dengan memonitor hasil pemeriksaan parameter laboratorium baik Plasma HIV RNA (viral load) maupun jumlah sel CD4+T dan dengan melihat kondisi klinis dari pasien. Hasil dari dua parameter ini memberikan informasi penting tentang status virologi dan imunologi dari pasien dan risiko dari perkembangan penyakit menjadi AIDS. Sekali keputusan untuk memberi terapi antiretrovirus diambil, pengobatan harus di lakukan dengan agresif dengan tujuan menekan virus semaksimal mungkin. Pada umumnya, harus diawali dengan penggunaan inhibitor protease dan dua inhibitor “non nucleoside reverse transcriptase”. Regimen lain mungkin digunakan tetapi dianggap kurang optimal. Pertimbangan spesifik di berikan kepada orang dewasa dan wanita hamil, dan bagi pasien pasien ini sebaiknya digunakan regimen pengobatan spesifik.
c. Hingga pertengahan tahun 1999, satu-satunya obat yang dapat mengurangi risiko penularan HIV perinatal hanya AZT dan di berikan sesuai dengan regimen berikut: diberikan secara oral sebelum kelahiran, mulai 14 minggu usia kehamilan dan diteruskan sepanjang kehamilan, diberikan intravena selama periode intra-partum; diberikan oral bagi bayi baru lahir hingga berusia 6 minggu. Regimen “chemoprophylactic” ini menurunkan risiko penularan HIV hingga 66 %. Terapi AZT yang lebih singkat mengurangi risiko penularan hingga 40%. Dari studi di Uganda, dilaporkan bahwa pada bulan Juli 1999 dosis tunggal nevirapine yang diberikan kepada ibu yang terinfeksi HIV diikuti dengan dosis tunggal kepada bayi hingga berusia 3 hari, memberi hasil yang lebih baik dibandingkan dengan kedua terapi diatas. Hanya 13.1 % dari bayi yang mendapat terapi nevirapine yang terinfeksi HIV, dibandingkan dengan 25.1 % dari kelompok yang mendapat terapi AZT. Harga Nevirapine kurang dari 4 dollar satu dosisnya, sehingga prospek untuk melindungi penularan ibu ke anak di negara berkembang lebih memungkinkan di era milinium ini.
Namun, kurang tersedianya fasilitas tes HIV dan jasa konsultasi bagi wanita hamil di negara-negara berkembang yang termiskin di Afrika tetap merupakan sebuah tantangan yang berat. Disamping itu kurang tersedianya pengobatan anti HIV bagi orang dewasa membuat angka anak-anak yang menjadi yatim-piatu bertambah di negara-negara ini.
d. Penanganan tenaga kesehatan yang sehari-harinya terpajan darah dan cairan tubuh yang mungkin mengandung virus HIV sangat kompleks. Sifat pajanan dan faktor-faktor seperti kemungkinan hamil dan strain HIV yang resisten terhadap obat harus dipertimbangkan sebelum Profilaksis HIV pasca pemajanan (Postexposure prophylaxis = PEP) di berikan. Akhir tahun 1999, pemberian PEP yang dianjurkan termasuk pemberian regimen dasar selama 4 minggu yang terdiri dari 2 jenis obat (zidovudine dan lamivudine) untuk semua jenis pemajanan HIV, termasuk juga regimen yang telah dikembangkan, dengan tambahan protease inhibitor (indinavir atau nelfinavir) yang ditujukan bagi orang yang terpajan kuman HIV yang keberadaannya membuat mereka mempunyai risiko tinggi tertular atau utnuk mereka yang diketahui atau dicurigai resisten terhadap satu atau lebih obat antiretroviral yang direkomendasikan untuk PEP. Institusi pelayanan kesehatan seharusnya mempunyai pedoman yang mempermudah dan memberikan akses yang tepat untuk perawatan pasca pemajanan bagi petugas kesehatan dan pengembangan sistem pencatatan dan pelaporan peristiwa pemajanan.
III. Penanggulangan wabah - HIV saat ini sudah pandemik, dengan jumlah penderita yang sangat besar di laporkan di Amerika, Eropa, Afrika dan Asia Tenggara. Lihat 9A, diatas untuk rekomendasi.
IV. Implikasi bencana - Petugas emergensi harus mengikuti prosedur kewaspadaan universal, jika sarung tangan lateks tidak tersedia dan permukaan kulit kontak dengan darah, harus dicuci sesegera mungkin. Masker, kacamata pelindung dan pakaian pelindung di sarankan untuk dipakai ketika melakukan tindakan yang bisa menyebabkan semburan atau percikan darah atau cairan tubuh. Transfusi untuk keadaan darurat sebaiknya menggunakan darah donor yang telah diskrining terhadap antibodi HIV, jika uji saring tidak mungkin dilakukan maka donasi sebaiknya di terima hanya dari donor yang tidak mempunyai perilaku yang memungkinkan terinfeksi oleh HIV, dan lebih disukai donor yang sebelumnya terbukti negatif untuk antibodi HIV.
V. Tindakan Internasional - Program pencegahan dan pengobatan global dikoordinasi oleh WHO yang dimulai pada tahun 1987. Sejak tahun 1995, program AIDS global dikoordinasikan oleh UNAIDS. Sebenarnya semua negara di seluruh dunia telah mengembangkan program perawatan dan pencegahan AIDS. Beberapa negara telah melembagakan keharusan pemeriksaan AIDS atau HIV untuk masuknya pendatang asing (terutama bagi mereka yang meminta visa tinggal atau visa yang lebih panjang, seperti visa belajar atau visa kerja) WHO dan UNAIDS belum mendukung tindakan ini.
Sumber: Manual Pemberantasan Penyakit Menular (MPPM) Edisi 17 Tahun 2000
No comments:
Post a Comment