Oleh : Atep Afia Hidayat – Bagi
sebagian petani agribisnis masih merupakan istilah asing, padahal petani itu
sendiri sebenarnya merupakan bagian dari sistem agribisnis, petani dengan usaha
taninya berada di sektor primer. Hal tersebut sejalan dengan pendapat David
Downey dan Steven P. Erickson, pakar ekonomi pertanian dari Amerika Serikat,
yang membagi agribisnis ke dalam lima sektor, yaitu :
Sektor input (input
supply sectors), yang meliputi pupuk, benih, insektisida, bahan bakar,
mesin dan peralatan lainnya.
Sektor primer (farm
production sectors), merupakan sentral dari agribisnis, meliputi
petani, peternak dan nelayan.
Sektor sekunder (output
sectors), berperan mengubah bahan baku menjadi bahan jadi
(agroindustri).
Sektor tersier (market
farm product), berfungsi mengantarkan produk sektor primer dan
sekunder ke tangan konsumen
Dari keempat sehtor dalam sistem agribisnis tersebut, tampak
jelas bahwa posisi petani sangat strategis, namun kenapa justru kemampuan
menawarkan relatif rendah dan nilai tambah usahanya paling kecil.
Partisipasi dan kontribusi petani terhadap agribisnis sangat
besar, terlebih untuk komoditi pangan. Lemahnya posisi terutama disebabkan
pemilihan modal yang kecil, penggunaan teknologi yang rendah, pemilikan lahan
yang sempit, produk yang cepat rusak, ancaman iklim seperti banjir dan
kekeringan, gangguan hama dan penyakit tanaman, serta akses yang sangat kecil
terhadap sumberdana dan informasi. Semua hal itu merupakan ciri umum sebagian
besar petani yang ada di Negara berkembang, termasuk di Indonesia.
Dalam mata rantai agribisnis risiko paling tinggi dipikul
oleh petani, maka tak heran jika sentuhan perbankan untuk memperkuat permodalan
petani sangat kecil. Bagaimanapun bank cenderung mencari mitra usaha yang tidak
berisiko tinggi, dengan demikina sektor input, sekunder dan tersier (sarana
produksi,, agroindustri dan pemasaran) hampir selalu mendapat prioritas
penyaluran kredit.
Tak banyak bank yang mau dan mampu bekerjasama dengan sektor
primer, kecuali yang skala usahanya besar seperti perkebunan BUMN atau milik
swasta nasional. Kucuran kredit perbankan untuk petani hanyalah berupa
tetes-tetes kecil, itupun dengan persyaratan yang berat.
Akses sebagian besar petani terhadap sumber dana sangat
kecil, bagaimana prosedur pengurusan kredit yang benar pun belum dipahaminya.
Seringkali petani jatuh dalam cengkeraman bank gelap dan pengijon.
Dengan demikian sudah selayaknya kredit investasi kecil
mampu menjangkau petani dengan skala usaha yang paling kecil. Untuk mengurangi
risiko, pihak perbankan hendaknya tidak hanya berperan dalam penyaluran kredit
semata, namun juga bertindak sebagai pusat informasi agribisnis, paling tidak
dapat memberikan rekomendasi mengenai prospek suatu komoditi yang layak
dibudidayakan petani.
Untuk usaha tani yang lebih besar, perbankan bisa berperan
sebagai agro management conselling, agro management assistance, agro project development, dan agro management control. Beberapa bank
telah menjalankan fungsi tersebut. Idealnya langkah tersebut dikembangkan
dengan jangkauan yang lebih luas. Beberapa program yang pernah ada seperti perkebunan inti rakyat (PIR) hendaknya
esensinya bisa menjangkau kepentingan petani.
Akses petani terhadap informasi pun sangat rendah, kalaupun
ada penyuluhan lapangan, siaran pedesaan (RRI-TVRI), koran masuk desa, dan
sumber informasi lainnya, namun kecenderungan petani untuk terbelenggu dengan
suatu komoditi masih sangat kuat.
Kenyataan sebagian besar usaha tani dijalankan belum begitu
berorientasi pada laba, hanya berupaya mempertahankan hidup dan menghindari
kelaparan. Menurut M. Dawam Rahardjo (1992), produksi pangan memang telah
meningkatkan pendapatan nominal petani, namun ternyata potensi pendapatan yang
diterima petani ditekan dari dua jurusan, yaitu :
Dari ongkos produksi, di mana untuk
meningkatkan produksi fisik, petani harus membayar ongkos yang lebih tinggi
guna membeli pupuk dan pestisida. Sekalipun penerimaan petani meningkat, tetapi
harus dikurangi dengan ongkos produksi yang lebih tinggi.
Dari harga jual, mungkin pula petani
menerima “subsidi harga”, karena Buloq memberikan harga dasar yang melindungi
pendapatan petani. Tetapi Bulog juga berfungsi menekan harga agar jangan
melampui pagu harga, walaupun hal itu dilakukan dengan operasi pasar, bukan
penetapan harga tertinggi
Petani produsen sebenarnya tidak sepenuhnya menikmati
kebijaksanaan pangan pemerintah. Tak heran jika laba yang diperoleh petani
relatif kecil, apalagi petani dengan lahan yang sempit. Yang memperoleh
keuntungan paling besar justru pedagang beras, di mana menurut M. Dawam
Rahardjo “subsidi harga itu akhirnya diterima pedagang beras”.
Usaha tani tanaman pangan, perkebunan, hortikultura,
peternakan atau perikanan, sebagian besar dilakukan oleh petani kecil. Luas
perkebunan rakyat bisa berlipat jika dibandingkan dengan perkebunan BUMN atau
swasta nasional.
Jika unit usaha BUMN atau swasta nasional jumlahnya hanya
ratusan atau seribuan, maka unit usaha petani kecil bisa mencapai belasan juta.
Hal itu pula yang menyulitkan terwujudnya keterkaitan usaha yang harmonis
dengan sektor agribisnis lainnya, baik input, sekunder atau tersier.
Untuk menjembetaninya berbagai institusi seperti koperasi,
LSM, perguruan tinggi, diharapkan lebih banyak berperan aktif.
Bagaimanapun partisipasi petani dalam agribisnis harus
seimbang dengan nilai tambah yang didapatkannya. Jika posisi petani dalam
agribisnis menguat, dengan sendirinya tingkat pendapatan dan kesejahteraannya
meningkat.
Jika hal itu terjadi, maka dampaknya terhadap perekoniman
nasional bakal positif, bagaimanapun petani merupakan mayoritas pelaku ekonomi
di Indonesia. Jika daya belinya menguat, maka pertumbuhan sektor industri pun
makin terpacu, sebab kenyatannya konsumen terbesar berbagai produk industri tak
lain petani.
Ada sementara pihak yang mengusulkan agar sektor sekunder
dari agribisnis, yaitu agroindustri ditampilkan sebagai leading sector dalam pembangunan, salah satu sasarannya ialah agar
nilai tambah yang diperoleh petani meningkat.
Untuk
mewujudkan hal itu, terlebih dahulu kondisi petani sebagai sumberdaya manusia
(SDM) agribisnis perlu dibenahi, pengenalan terhadap Iptek pertanian layak
ditumbuh-kembangkan, serta akses terhadap sumber dana dan infromasi terus
ditingkatkan. (Atep Afia)sumber: http://www.kangatepafia.com/2013/04/petani-dan-agribisnis.html
No comments:
Post a Comment