Kita sering menilai orang berdasarkan penampilan pertamanya. Orang yang menampilkan kesan baik pada saat pertama kali bertemu, cenderung kita anggap baik untuk seterusnya. Bias seperti ini biasanya disebut efek halo. Kita juga cenderung menilai orang yang menampilkan kesan buruk pada saat kita pertama kali bertemu dengannya, sebagai orang yang buruk seterusnya. Bias seperti ini disebut negativitas. Kecenderungan mengandalkan penilaian terhadap orang lain pada kesan pertama merupakan bias karena penyimpulan yang kita buat tidak didasari informasi yang lengkap. lnformasi tentang seseorang yang kita peroleh pada saat pertama kali kita bertemu dengannya tidak mewakili keseluruhan pikiran dan perasaan orang tersebut.
Dalam keseharian, tidak jarang kita menilai orang dari serangkaian tindakannya yang dapat kita asosiasikan dengan sifat-sifat tertentu. Contohnya, ketika kita sedang menghadiri sebuah rapat yang sudah berlangsung lebih dari setengah jam, seorang peserta rapat yang tidak kita kenal baru datang. Ia masuk ke ruangan rapat dengan gerakan yang tampak tergesa-gesa menuju tempat duduk yang disediakan untuknya. Setelah duduk, ia membuka tasnya dan mencari sesuatu di tas tersebut. Kemudian, ia mengeluarkan beberapa barang dari tasnya untuk memasukkan kembali semua barang itu ke tasnya. Lalu, ia me rogoh sakunya dan sepertinya nienemukan apa yang ia cari. Pakaian yang dikenakannya tampak kusut dan rambutnya tidak tersisir rapi. Kita bisa saja dengan sangat mudah menilainya sebagai orang yang tidak bisa mengatur dirinya dan berantakan. Apakah penilaian kita akurat? Bisa jadi, tidak. Orang itu menampilkan tingkah laku tersebut, bisa jadi karena faktor-faktor eksternal yang tidak terhindarkan, misalnya pesawat yang ditumpangi ditunda keberangkatannya, sehingga ia tidak sempat lagi mempersiapkan diri dengan baik untuk menghadiri rapat ini.
Kecenderungan untuk menempatkan faktor internal atau penyebab disposisional, cukup besar ditampilkan oleh banyak orang. Fenomena yang ditandai oleh kecenderungan kurang mempertimbangkan faktor penyebab eksernal disebut oleh Jones (1979) sebagai bias korespondensi. Penelitian Gilbert dan Malone (1995) menunj ulckan bukti-bukti dari adanya kecenderungan menunjuk faktor disposisional sebagai penyebab tamp ilnya tingkah laku, bahkan dalam situasi yang jelas penyebabnya. Kecenderungan ini muncul dari konteks yang luas dan cukup umum terjadi di berbagai situasi. Dalam psikologi sosial, bias seperti ini merujuk pada kesalahan atribusi fundamental, yaitu kecenderungan untuk memersepsikan orang lain sebagaimana yang ditampilkannya karena sifat-sifat yang dimiliki orang lain tersebut. Contohnya, orang yang menampilkan tingkah laku yang umumnya dianggap baik pada waktu tertentu, cenderung langsung dinilai sebagai orang baik, tanpa mempertimbangkan faktor-faktor eksternal yang mungkin menjadi penyebabnya.
Bias persepsi lain yang cenderung kita lakukan adalah apa yang disebut sebagai in-group bias (bias terhadap kelompok sendiri) atau in-group favoritism (favoritisme terhadap kelompok sendiri). Dengan kata lain, kita cenderung menyukai anggota-anggota kelompok kita sendiri dibandingkan anggota-anggota kelompok lain (Allen & Wilder, 1975; Billig & Tajfel, 1973; Brewer, 1979; Tajfel, 1970; Wilder, 1981). Contohnya, ketika seseorang menilai calon anggota DPR dua partai tertentu, X dan Y, yang setara dalam berbagai hal, orang tersebut cenderung memilih calon dari partai Y jika ia sendiri adalah anggota partai Y. Penilaian tersebut semata-mata karena calon dari partai 'Y sekelompok dengan orang yang menilai.
Selain itu, hal yang perlu diperhatikan adalah dalam keadaan tertentu, kita mungkin juga menampilkan bias yang bertentangan dengan anggota in-group. Hal tersebut mungkin saja terjadi ketika anggota dari kelompok sendiri bertingkah laku secara negatif; khususnya, jika is bergeser atau menyimpang dari norma kelompok. Para teoretikus percaya bahwa hal ini terkait dengan identitas sosial kita. Ketika seseorang dalam kelompok saya melakukan sesuatu yang baik, maka saya juga merasa baik tentang diri saya. Akan tetapi, jika seseorang dari kelompok saya melakukan hal yang buruk, maka saya merasa buruk. Bisa saja hal ini terjadi karena saya mengetahui bahwa orang lain akan menilai saya berdasarkan tingkah laku anggota-anggota kelompok tempat saya bergabung. Dalam keadaan tersebut, saya mungkin memperlakukan atau mengevaluasi hal-hal buruk yang dilakukan oleh anggota kelompok saya secara lebih negatif daripada hal-hal buruk serupa yang ditampilkan orang dari kelompok lain. Dalam psikologi, fenomena ini dikenal dengan sebutan efek kambing hitam (black sheep effect) (Marques, Yzerbyt, & Leyens, 1988; Marques, Abrams, & Serodio, 2001; Marques, Robalo, & Rocha, 1992; Marques & Yzerbyt, 1988; Matthews & Dietz-Uhler, 1998; Coull et al., 2001).
Bias dalam persepsi sosial dapat juga terjadi karena adanya asimetri antara kelompok sendiri dan kelompok lain (in-group-out-group asymetry), yaitu orang cenderung memersepsikan kelompok sendiri dengan cara dan standar yang berbeda dengan cara dan standar memersepsikan orang lain. Lokasi serta pergerakan dari individu dan kelompok dalam lingkungan menghasilkan asimetri dan hubungan-hubungan topografis. Bentuk topografi yang menonjol adalah asimetri diri sendiri-orang lain yang diperoleh melalui pembelajaran sejak bayi. Dalam psikologi sosial, asimetri antara kelompok sendiri dan kelompok lain, penting untuk menjelaskan tentang stereotip, diskriminasi, dan hubungan antarkelompok (Pettigrew, 1986; Tajfel & Turner, 1986). Jumlah dan struktur informasi yang tersedia tentang kelompok sendiri (juga diri sendiri), berbeda dari jumlah dan struktur informasi tentang kelompok lain (juga orang lain). Asimetri ini memberi kontribusi kepada beragam jenis bias (Brewer, 1979; Zuckerman, 1979; Jones & Nisbett, 1972; Park & Rothbart, 1982; Watson, 1982; Judd & Park, 1988; Pronin, Gilovich, & Ross, 2004).
No comments:
Post a Comment